Wabah: Mengiringi Kebangkitan Turki Usmani hingga Runtuhnya Kesultanan Aceh


Apa yang terjadi di tahun 2020 ini sungguh di luar dugaan. Rasanya baru kali ini kita dengar sebuah negara membebaskan 54 ribu tahanannya. Di Iran, hal ini dilakukan pemerintah karena menghindari meluasnya virus corona. Iran memang menjadi salah satu negara dengan tingkat pengidap virus corona tertinggi.

Ketika dunia saling mengisolasi diri dan sibuk mengurusi virus ini dalam negerinya masing-masing, dunia seperti terputus. Koneksi dan migrasi manusia di era globalisasi seperti mundur satu abad. Penerbangan dibatalkan. Maskapai Jerman, Lufthansa misalnya, membatalkan separuh dari penerbangannya. Beberapa negara terancam resesi. Pertumbuhan ekonomi global dikoreksi hingga separuhnya. Perdagangan antar negara terancam menurun drastis.

Di tengah prediksi perang ekonomi Cina – AS, ketegangan di Timur Tengah atau isu nuklir di Iran dan Korea Utara, siapa sangka semua terkapar dengan satu hal: virus. Efeknya mendunia, bukan saja karena memakan korban jiwa, tetapi juga berdampak pada hal lainnya. Dari keamanan hingga pelambatan ekonomi.

Jika kita menilik kembali ke masa silam, wabah bukanlah satu hal yang tak lazim dalam sejarah umat manusia. Wabah bahkan mampu mengubah sejarah dunia. Dari migrasi massal hingga jatuhnya kekuasaan. Salah satunya terjadi di abad pertengahan. Ketika sebuah wabah mengubah wajah dunia.

Penulis sejarah menyebutnya sebagai wabah ‘The Black Death”. Wabah yang menyerang berbagai belahan dunia pada tahun 1347 M hingga setidaknya tahun 1400-an (selama berulang kali), merentang dari Asia, Afrika hingga Eropa. Di Eropa wabah The Black Death memakan korban hingga 2/3 penduduknya.

Wabah ini diketahui lahir dari bakteri Yersina Pestis. Berasal dari Cina dan Asia Tengah, Wabah The Black Death yang berasal dari kutu yang menjadi parasit di badan tikus diduga menyebar melalui jalur perdagangan jalur sutra. Wabah ini memakan korban pasukan Mongol, Janibeg yang sedang menyerang Pelabuhan dagang Genoese di Krimea pada tahun 1347. Dari Kaffa, kemudian wabah ini menyebar lewat pelaut di Genoese hingga ke berbagai wilayah di dunia termasuk Italia.

Pada tahun 1374, Bernabo Visconti, Pemimpin dari Milan menutup akses ke Kota. Pada tahun 1377, otoritas dari Ragusa (Dubrovnik) memberlakukan isolasi selama 3 hari pada semua kapal yang sampai dipelabuhan. Kata ‘Karantina’ (Quarantine) sendiri berasal dari bahasa Italia, “Qaranta.” (Yaron Ayalon: 2015)

Di Eropa, situasinya tak kurang buruknya. Bukan saja karena situasi di sana sebelum wabah melanda sudah tidak layak karena kepadatan penduduk. Begitu padatnya sehingga tersangkut masalah sanitasi dan kemiskinan, tetapi juga akhirnya berdampak pada jatuhnya kekuasaan Bizantium ke tangan Turki Usmani.

Matthaios, Uskup Agung dari sebuah kota kecil di Bizantium, Brysis, menyaksikan situasi ketika wabah itu merebak: “Udara sudah tercemar karena hujan yang turun terlalu cepat di musim panas. Hal ini menyebabkan epidemi yang mulai menghancurkan pekerjaan manusia dan buah-buahan dari tanah…. Kemudian kejahatan mulai memangsa wanita dan anak-anak, dalam arti lain, yang muda dan lebih lemah (perempuan-pen) lebih rentan terhadap kondisi iklim. Sekarang mulai membuat pria sakit dan membunuh mereka.” (Gisele Marien: 2009)

Dalam keadaan hanya dengan sedikit makanan seadanya dan tingkat kebersihan yang rendah, orang-orang di Brysis hanya dapat mencuci kepala mereka. Matthaios kemudian mengisahkan betapa semakin memburuknya situasi.

“Kabar buruk datang dari jauh bahwa Myser dan Scythians bersatu akan merebut tanah kami. Seiring datangnya kabar ini, orang-orang berdatangan dari pinggir kota dan pedesaan: Perempuan dengan anak-anak, suami, sapi, kuda, anjing dan babi yang melarikan diri bersama barang-barang rumah mereka. Siapa yang dapat menghadapi kekacauan seperti ini? Bahkan sebelum musuh tiba di sini…kami sudah menemukan diri kami terjebal dalam situasi pengepungan dan perang, karena kami begitu berhimpun dalam tempat yang sempit.” (Gisele Marien: 2009)

Di Istanbul, situasi juga sama peliknya. Wabah telah memorakporandakan kota itu. Pada saat merebaknya wabah The Black Death kedua tahun 1361, Demetrius Cydones, seorang terpelajar yang telah melayani beberapa penguasa di Istanbul melukiskan kesulitan yang dihadapi. Menurutnya, “Orang-orang yang selamat tampaknya tak mampu untuk menguburkan yang tewas: Tak ada harapan untuk melihat ujung dari hal ini. Dan bahaya yang hadir di kota itu telah menjadi penyebab semuanya, dan akan melanda kami semua dalam kubur yang sama.” (Gisele Marien: 2009)

Cydones sendiri beruntung masih hidup. Meski demikian ia mulai merasakan gejalanya: “Sudah setahun aku merasa pusing, jantungku seperti ingin keluar dari dadaku. Aku juga merasa tak bisa bernafas, seperti akan kehabisan udara dan insomnia, yang membuatku hampir gila.” (Gisele Marien: 2009)

Antara tahun 1409-1410 sekitar sepuluh ribu orang tewas di Konstantinopel. Salah satunya adalah Theodore Cantacuzenos, anggota senat dan anggota keluarga dinasti. Pada tahun 1430, Pasukan Usmani sudah menguasai Thesalonika. Sementara itu, kubu Konstantin menguasai menara Petras bersama pasukan yang kelaparan dan menghadapi situasi sulit. (Gisele Marien: 2009)

Penulis kronik Bizantium, Sphrantzes, pada tahun 1931 menulis bahwa wabah sudah menelan korban di Patras. Amat mungkin pasukan Usmani membawa wabah itu dari Anatolia. Saat Muhammad Al Fatih mengepung Konstaninopel tahun 1453, Sphrantzes menyebutkan bahwa “Bahkan sebelum Sultan tiba, benteng dan istana yang tersebar di pedesaan dan padang telah ditinggalkan orang-orang dan musuh kemudian mengambil alih setelah melalui pengepungan yang tak lama…” (Gisele Marien: 2009)

Selain keunggulan pasukan Turki Usmani, wabah telah menjadi salah satu faktor yang melemahkan Bizantium. Menariknya, wabah bukan saja menyapu kekuasaan Bizantium tetapi juga perlahan-lahan menggerus otoritas agama Katolik di Eropa dan membuat gelombang baru humanisme sekular.


Dari wabah ke Humanisme Sekular

Yaron Ayalon dalam “Natural Disasters in The Ottoman Empire” menyebutkan beberapa faktor.

Pertama, karena wabah turut menyapu sejumlah besar biarawan dan biarawati.

Kedua, keterlibatan Vatikan dalam kemelut politik di Eropa antara Raja Perancis dan Inggris dalam soal pajak klerik memperkeruh citra Gereja (Yaron Ayalon: 2015).

Ketiga, persepsi tentang kemiskinan sebelum The Black Death yang dianggap sebagai fakta kehidupan yang tak bisa dielakkan dan bahkan dianggap sebagai kebaikan. Amal dianggap sebagai jalan untuk meringankan penderitaan, bukan memerangi kemiskinan. Oleh sebab itu pasca Black Death, lembaga amal mulai diambil alih oleh masyarakat sipil. Masyarakat mulai mengubah pandangan tentang kemiskinan. (Yaron Ayalon: 2015)

Pandangan orang-orang Eropa pasca The Black Death tentang kehidupan, kedudukan mereka di dunia, titik referensi mereka menjadi sangat terguncang. Kesalehan baru muncul, orang-orang mulai menyokong seniman dan sarjana, yang pada akhirnya mendorong munculnya sejarawan sekular, penerjemah dari teks kuno, kolektor buku dan seniman.

Renaissans muncul hanya setelah naiknya otoritas sipil (bukan lagi agama) yang memberikan penulis dan seniman kekebebasan berkarya. Gelombang Renaissans kemudian menyebar ke seluruh Eropa lewat mesin cetak. Dalam skala yang lebih luas, menyokong suksesnya reformasi Protestan, revolusi sains dan penjelasan bencana alam tanpa melibatkan tuhan. (Yaron Ayalon: 2015)

Wabah Kolera di Nusantara
Di tanah air, wabah juga menjadi satu perantara pergantian kekuasaan. Pada pertengahan abad ke 19, wabah kolera mulai melanda Batavia. Wabah ini bukan mengancam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Batavia, tetapi menjadi perantara tergerusnya Kesultanan Aceh yang tak pernah bertekuk lutut di hadapan penjajah.

Ketika Belanda memulai agresi keduanya ke Aceh, wabah kolera mulai menjangkiti pasukan Belanda. Jenderal Jan van Swieten diangkat Loudon menjadi Panglima Militer Tertinggi Ekspedisi ke Aceh kedua. Van Swieten adalah ketika itu berusa 66 tahun. Ia telah pesiun sebagai Tentara Hindia Belanda. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Negara dan Komisaris Nederlands-Indische Spoorwegmaatchappij, perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda (Paul van t’Veer: 1985).

Ekspedisi kedua membawa hampir tiga belas ribu orang. 389 perwira, 8156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana dan 234 wanita. 18 kapal perang uap, tujuh buah kapal uap angkatan laut, 12 kapal barkas, dua kapal peronnda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat yang terdiri dari 6 kapal uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, kurang lebih 80 sekoci, beberapa sekoci angkatan laut dan sejumlah besar tongkang. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ekspedisi pun dimulai dengan pelayaran dari Batavia. Ribuan orang berjejal dalam kapal-kapal selama 10-14 hari perjalanan. Pelayaran sudah mengundang maut ketika wabah kolera pada Oktober 1873 telah mencapai Batavia. Keberangkatan ekspedisi yang seharusnya dimulai 1 November 1873, diundur hingga 10 hari. (Paul van t’Veer: 1985)

Segera setelah berlayar, ribuan orang yang berjejal dalam ekspedisi militer ke Aceh tersebut menjadi mangsa wabah kolera. Begitu kapal-kapal mencapai Aceh, 60 orang sudah tewas akibat kolera. Begitu kapal mendarat angka korban kolera segera meroket. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng yang becek, dan kurangnya tenaga medis membuat jumlah korban wabah kolera meningkat setiap hari. (Paul van t’Veer: 1985)

Angkanya terus meroket. Bahkan pada akhir bulan Desember telah tewas 150 orang akibat kolera. 18 perwira dan ratusan bawahan segera dibawa ke rumah sakit di Kota Padang, tanpa pembasmian hama terlebih dahulu. Sebelum peluru ditembakkan dari ekspedisi ini, Van Swieten telah kehilangan lebih dari sepersepuluh kekuatannya. (Paul van t’Veer: 1985)

Akibat khawatir akan penularan wabah pula, akhirnya pada 9 Desember 1873, satu dari ketiga brigade didaratkan di Pantai Rawa. Pasukan induk sendiri akhirnya tiba di Peunayong setelah 14 hari menembus serangan pasukan Aceh. Pertempuran untuk menguasai Masjid Raya terus berlangsung hingga akhir Desember. (Mohammad Said: 2007)

Pasca menguasai Masjid Raya, pasukan Belanda merangsek ke Istana Kesultanan Aceh. Celakanya mereka bukan hanya menembakkan peluru tetapi juga menularkan kolera ke kubu Aceh. Kolera segera merebak di dalam Istana yang sedang dipertahankan. (Mohammad Said: 2007)



Setidaknya 150 orang Aceh setiap hari tewas akibat kolera. Salah satu yang ikut terkena kolera adalah Sultan Mahmud. Ia menjadi orang yang terakhir Bersama Panglima Tibang keluar dari istana. Sultan kemudian diungsikan ke Pagar Aye. Takdir menentukan berbeda. Pada 28 Januari 1874 Sultan Aceh tersebut wafat. (Mohammad Said: 2007)

Kesultanan Aceh memang tak segera lenyap. Tetapi tak dapat dipungkiri, kekuatan Kesultanan tersebut melemah pasca wabah kolera. Tidak seperti di masa Turki Usmani abad pertengahan yang dilanda wabah The Black Death hingga mengubah tatanan dunia dan membawa gelombang humanisme sekular di Eropa, dampak wabah kolera di nusantara tak sedemikian dahsyat. Hanya saja wabah tersebut turut menggerogoti kedaulatan Kesultanan Aceh yang telah berdiri ratusan tahun.

Sungguh menarik jika dipikirkan. Amat mudah bagi Allah membalikkan keadaan. Bukan lewat satu bencana yang terlihat kasat mata, tetapi melalui zat yang bahkan mata kita tak mampu melihatnya. Di Eropa, wabah The Black Death justru telah membuat masyarakatnya menoleh pada humanisme sekular yang menyingkirkan Tuhan, setelah gagalnya kaum agamawan memberikan sikap yang tepat pada persoalan-persoalan masyarakat di sana.

Hal ini tentu menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Mampukah kaum pemuka agama (Islam) memberikan perspektif yang tepat pada masyarakat tentang bencana wabah seperti Corona? Ataukah malah terjebak narasi dan aksi yang keliru, seperti yang telah dilakukan pemuka agama Eropa abad pertengahan, sehingga ditinggalkan masyarakatnya sendiri?

0 Response to "Wabah: Mengiringi Kebangkitan Turki Usmani hingga Runtuhnya Kesultanan Aceh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel